Review Film Totto Chan : The Little Girl at the Window, Harapan di Tengah Kecamuk Perang
Hari Minggu lalu saya iseng googling jadwal film Totto Chan yang diputar di Malang. Sempat pesimis karena jadwal pemutaran film sudah dua pekan lebih di kota saya. Kemungkinan besar ya sudah turun layar. Tapi alhamdulillah banget kemarin masih rezeki bisa nonton Totto Chan bersama suami dan anak saya yang masih berusi 5 tahun.
Totto Chan Hari Itu Juga Turun Layar
Saat memesan tiket di bioskop, film Totto Chan sudah diputar. Jadi memang saya terlambat, karena googling isengnya tadi baru 20 menit sebelum fim diputar.
Loket pun saat itu ramai sekali, jadi saya agak gelisah. Bagaimana kalau saya ketinggalan banyak?
Meskipun loket ramai, ternyata yang ramai justru film horor yang bertebaran di sana sini, huhu. Saat masuk ke teater, yang nonton Totto Chan pun tidak sampai setengah. Sedih, dan sempat bertanya ke petugas kapan Totto Chan turun layar? Katanya kalau besok sepi ya terpaksa turun layar lusa.
Sekali lagi saya bersyukur karena masih sempat mengejar jam tayang film satu ini.
Review Film Totto Chan
Totto Chan adalah salah satu buku favorit saya. Dulu saya berimajinasi bagaimana jika gerbong kereta diubah menjadi ruang kelas? Di sana, anak-anak bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Ada yang happy banget membaca buku tanpa pernah meninggalkan kelasnya, ada yang suka bereksperimen dengan teori kimia dan fisika, ada yang suka olahraga, ada yang suka bermain musik, membuat prakarya, dan masih banyak lagi.
Tipe sekolah ideal menurut saya saat itu, dan mungkin sampai sekarang dan tidak pernah saya temui di Indonesia. Totto Chan menjadi sosok gadis cilik yang tiba-tiba saja seperti teman masa kecil.
Antara film dan novel memang tak bisa seluruhnya persis ya, karena keterbatasan di masing-masing media tentu saja. Namun saya tak kecewa menonton film Totto Chan ini. Saya seperti diajak untuk kembali ke masa lalu, masa-masa saya berkenalan dengan buku-buku fiksi yang menyentuh hati.
Saya diajak untuk melihat kembali bagaimana Totto Chan melalui masa-masa sulitnya di sekolah lama. Dicap sebagai anak nakal dan pembuat onar sampai ia pun harus keluar dari sekolah.
Hingga saat perjalanannya menemukan sekolah yang sangat memahami dirinya menjadi perjalanan saya juga untuk memilih sekolah anak. Kapan ya di Indonesia ada sekolah seperti itu? Kalau di antara teman-teman pernah menjumpai sekolah mirip sekolah Totto Chan boleh bagikan pengalamannya di kolom komentar ya, please.
Kembali lagi ke cerita bagaimana Totto Chan di sekolah, bagaimana guru-gurunya mengajar, bagaimana kebiasaan di sekolah tersebut, idealisme Ayah Totto Chan yang ingin segera mengakhiri perang dengan Amerika dan Inggris, hingga saat Kepala Sekolah mengumumkan perginya Yasuaki Chan (salah satu teman Totto Chan di sekolah dan penderita polio).
Cerita yang mengalir dari Totto Chan tersebut membuat saya membayangkan kondisi anak-anak di Palestina saat peperangan seperti ini terjadi. Tidak ada makanan, tempat tinggal yang terancam, bahkan sekolah seperti Totto Chan saat itu.
Jepang begitu peduli pada pendidikan di negerinya, bahkan saat perang berkecamuk pun sekolah masih tetap buka hingga dinyatakan bahwa di daerah tersebut akan diinvasi dari jalur udara. Baru pada saat itulah kepala sekolah berpamitan, begitu juga dengan anak-anak. Semuanya menyimpan sekolah kereta di dalam hatinya masing-masing.
Bahkan Totto Chan berjanji akan kembali ke sekolah tersebut untuk menjadi Guru yang disambut baik oleh Kepala Sekolah. Totto Chan memang gadis yang baik dan penuh empati, begitulah kata Kepala Sekolah.
Namun saat anak-anak dan para orangtua mengungsi, saat itulah bom dijatuhkan di atas sekolah hingga tinggal puin-puing belaka.
Ketika sekolah hancur rata dengan tanah, tebak deh apa yang Kepala Sekolahnya katakan? Ia tidak mengeluh atau pun putus asa, ia justru berkata :
Sekolah seperti apa yang akan kita bangun lagi di atas tanah ini?
Hal ini menunjukkan bahwa harapan negeri Jepang ada pada pendidikan atau sekolah-sekolah yang ada saat itu. Seburuk apapun perang terjadi, sekolah harus tetap ada.
Film Totto Chan Cocok Ngga Ditonton Anak-Anak?
Sebenarnya film ini alurnya sederhana kok, menurut saya akan mudah dimengerti oleh anak-anak. Namun karena tidak ada dubbing Bahasa Indonesia akhirnya anak saya harus mendengarkan Bahasa Jepang yang tidak kami mengerti.
Memang ada teks terjemahan, tapi anak saya masih belum bisa membaca wkwkwk jadilah saat itu dia bosan memandang gambar bergerak dengan suara-suara asing di kepalanya. Seringkali saya menjelaskan padanya apa yang sedang terjadi sehingga ia bisa memahami alur ceritanya.
Jadi kalau teman-teman ingin nonton sambil bawa anak, ngga masalah sih sebenarnya. Asal anak dikondisikan agar tidak berisik, dan jika anak-anak belum bisa membaca mungkin bisa kita berikan penjelasan singkat di beberapa scene yang mungkin membingungkan jika tidak disertai dengan narasi.
Kalau anak sudah bisa membaca akan lebih mudah lagi memahami cerita dan menghayati apa yang terjadi di dalamnya.
Untuk adegan atau scene gambar-gambar yang ditampilkan masih tergolong aman kok. Meskipun ada adegan anak-anak mandi bersama di kolam renang sekolah, tapi ilustratornya tidak menampakkan secara vulgar dan nyata, jadi menurut saya, aman.
Film ini menurut saya selain mengajarkan empati pada anak-anak juga memberikan mereka sudut pandang baru tentang sekolah atau pendidikan.
Anak-anak di sini juga diajarkan secara implisit untuk tidak melakukan kekerasan meskipun disakiti oleh sesama teman. Mereka juga diajarkan untuk bersyukur atas semua makanan yang mereka bisa makan hari ini. Mereka tidak langsung menghafal rumus dan nama latin binatang maupun tumbuhan, tapi juga tahu asal usul serta pemrosesannya. Sehingga tidak ada anak-anak yang meremehkan makanan, karena semua makanan berharga.
Duh pokoknya banyak banget deh hal-hal yang bisa saya pelajari dari buku dan juga film Totto Chan. Bersyukur banget Indonesia punya kesempatan untuk memutar film ini.
Semoga review ini bermanfaat ya! Simak juga review film lainnya di sini.
Post a Comment for "Review Film Totto Chan : The Little Girl at the Window, Harapan di Tengah Kecamuk Perang"