Film Jai Bhim - Melihat Persidangan dan Bobroknya Kepolisian
Tadinya saya berpikir Film Jai Bhim―ya, sebagai judul film―diambil dari nama tokoh utama dari film ini. Ternyata bukan. Jai Bhim adalah slogan yang biasa digunakan oleh para pendukung Bhimrao Ramji Ambedkar, salah seorang tokoh penting dan menginspirasi di India. Mengutip dari Jai Bhim International, Jai serupa dengan frasa long lives, sementara Bhim mengacu pada nama Bhimrao Ambedkar.
Meskipun sosok “nyata” seorang Ambedkar
tidak muncul dalam film ini, tetapi semangat, ketulusan, dan perjuangannyalah
yang kemudian menginspirasi Chandru, pengacara dan aktivis yang salah satu
kisah hidupnya akan kita saksikan dalam film Jai Bhim.
source : brilio.net |
Review Film Jai Bhim
Diangkat dari kisah nyata, Jai Bhim
bercerita tentang perjuangan Sengani (Lijomol Jose), perempuan dari kasta Irula
dalam mencari keadilan untuk Rajakannu (K. Manikandan) suaminya, yang ditahan
pihak kepolisian karena tuduhan palsu, lalu dinyatakan kabur dari kantor
polisi. Dengan bantuan Chandru (Suriya), Sengani mengajukan petisi Habeas
Corpus. Dan di sanalah proses persidangan untuk kasus tersebut dimulai.
Sebagai pendapat pribadi, jujur saya sudah
tertarik dengan film ini ketika adegan bobroknya sistem kerja kepolisian
dimunculkan sebagai salah satu adegan pembuka. Di sana terpampang nyata
bagaimana uang, tuduhan palsu, dan promosi jabatan, saling berkaitan.
Mirisnya, untuk praktik kotor tersebut,
tentu saja ada orang-orang tidak bersalah yang ditumbalkan. Sejak menonton
bagian ini saja, saya sudah merinding. Apalagi ketika cerita sudah beranjak
pada proses pencarian dan penangkapan Rajakannu.
Sebelum Rajakannu berhasil ditangkap, ada
beberapa orang lainnya yang dijadikan pancingan agar Rajakannu mau keluar.
Padahal, Rajakannu bukan sedang bersembunyi, melainkan sedang mencari nafkah di
kota.
Bangsatnya, saat menahan orang-orang yang
tidak bersalah itu, anggota kepolisian (yang di negeri Wakanda disebut oknum),
melakukan kekerasan dan kebrutalan. Bahkan bisa tergolong pelanggaran HAM.
Tidak ada asas praduga tak bersalah di sana. Atau yang lebih terasa dekat,
tidak ada kemanusiaan di sana.
Orang-orang tidak bersalah itu dihantam dan
disiksa semaunya. Tidak peduli tua ataupun muda, laki-laki ataupun perempuan,
karena mereka adalah bagian dari suku yang miskin dan terpinggirkan, polisi
seakan berhak berbuat apa saja.
Ketika para “tahanan” sudah berada dalam
sel di kantor polisi, siksaan itu makin menjadi-jadi. Ada bahkan yang mengalami
kekerasan seksual. Rajakannu pun terus disiksa untuk mau mengakui perbuatan
yang dituduhkan. Tidak peduli sekeras apa siksaan itu, Rajakannu tetap menolak
mengaku.
Belum cukup sampai di situ saja,
kebangsatan para oknum ini makin terkuak ketika proses persidangan dimulai.
Tekanan dari atas, membuat oknum yang ada di bawah jadi putar otak. Sayangnya,
otaknya diputar untuk mencari cara-cara jahat. Melalui adegan flash back yang bertabur plot twist, kita akan melihat bagaimana
para oknum ini begitu mahir merangkai cerita dan memanipulasi keadaan.
Sengani terbilang beruntung karena bisa
bertemu dan dibantu oleh Chandru, pengacara yang bekerja dengan prinsip
kemanusian dan kebenaran di atas segala-galanya. Chandru bergerak dengan akal
dan hati. Mencari bukti dan mematahkan alibi lawan. Ketika tekanan datang
semakin kuat, ancaman muncul dari berbagai pihak, dia tidak goyah. Bahkan
ketika kasus itu sudah menjadi kabar yang menyita perhatian negara, dia tetap
bekerja mengikuti naluri kemanusiaannya.
Bagi Chandru, kasus ini bukan semata
tentang Sengani dan Rajakannu, melainkan tentang hak dan harapan orang-orang
yang selama ini terpinggirkan di tanah sendiri.
Satu hal yang juga menarik perhatian saya
dalam film ini adalah tentang isu pendidikan yang juga ikut disentil. Rajakannu
dan Sengani sebenarnya hidup dalam lingkungan yang peduli tentang betapa
pentingnya belajar dan sekolah. Mereka mau untuk menyentuh pendidikan. Namun sayangnya,
kemudahan akses tidak mendukung itu.
Akan tetapi, seperti tak ada gading yang
tak Marten, film ini juga belum sempurna. Keindahan cerita dan kekuatan tema
yang diangkat, tercoreng karena film ini dianggap melakukan pencemaran nama
baik. Sebagaimana yang saya tuliskan di atas, film ini diangkat dari kisah
nyata. Beberapa nama tokohnya pun ada yang tetap sama, ada juga yang diganti.
Fatalnya, untuk salah satu nama yang diganti, ada unsur sensitifitas (agama) di
dalamnya.
Sebagai seseorang yang masih sangat awam
tentang film, Jai Bhim memberi saya pengalaman baru dalam hal menonton film.
Jai Bhim adalah perpaduan antara bentuk represi aparat, perjuangan suku
terpinggirkan, dan cerita persidangan yang menguras emosi.
Dalam film ini,
Chandru adalah tokoh utamanya, peran polisi baik dan punya rasa kemanusiaan pun
tidak bisa dilupakan, tetapi yang berkesan di hati saya tetaplah Sengani. Dia
adalah “pahlawan” dalam film ini.
Ada yang sudah nonton film Jai Bhim ini?
Post a Comment for "Film Jai Bhim - Melihat Persidangan dan Bobroknya Kepolisian"